STAR-NEWS.ID Tradisi – Tradisi dan budaya masyarakat Hindu di Bali sarat dengan ritual keagamaan. Beberapa tradisi biasanya digelar pada bulan purnama, seperti tradisi Tabuh Geni.
Tradisi Tabuh Geni atau Tempyog ini digelar oleh masyarakat Tegalalang, Kabupaten Gianyar Bali setiap Pangusaban pada Sasih Kepitu yang bertepatan pada Bulan Purnama di Pura Puseh dan Bale Agung Desa Adat Calo.
Tabuh Geni atau Tempyog merupakan ritual menginjak api di dalam Pura. Menginjak api di dalam Pura dalam tradisi Bali merupakan sebuah simbol kuat untuk pembersihan, keberanian, dan transformasi.
Jero Bendesa Desa Adat Calo Ir. I Nyoman Eriawan mengungkapkan, ritual menginjak api di dalam Pura biasanya dalam upacara tertentu sebagai bagian dari perjalanan spiritual seseorang, baik sebagai bentuk persembahan kepada Hyang Widhi maupun sebagai proses introspeksi diri.
“Dalam spiritualitas, itu mengajarkan kita untuk menyucikan diri dari segala hal yang menghalangi hubungan dengan Hyang Widhi dan alam semesta,” kata Nyoman Eriawan, Jumat, 17 Januari 2025.
Dalam kepercayaan Hindu-Bali, ritual menginjak api di dalam Pura juga mempunyai makna ritual yang berhubungan dengan Dewa Agni atau dewa api yang merupakan perantara antara manusia dan para dewa.
“Menginjak api di dalam Pura juga melambangkan hubungan spiritual ini, di mana seseorang melalui api sebagai simbol penghormatan dan komunikasi dengan alam semesta,” jelas Nyoman Eriawan.
Selain itu menginjak api di dalam Pura menurut masyarakat Hindu-Bali juga mengandung makna ritual keselarasan dengan Tattwa
Api dalam konsep tattwa merupakan salah satu elemen penting Panca Maha Bhuta yang membawa energi transformasi dan pemurnian.
“Dengan berani menyentuh atau menginjak api, seseorang menyelaraskan diri dengan elemen ini, memperkuat kesadaran terhadap harmoni universal,” imbunya.
Dalam kehidupan sehari-hari, ritual menginjak api di dalam Pura menjadi pelajaran tentang keberanian menghadapi tantangan, melepaskan ego, dan menerima proses transformasi sebagai bagian dari perjalanan hidup.
“Ritual ini mengingatkan kita bahwa seperti api yang mampu membakar kegelapan, kita juga mampu membakar segala halangan dalam diri untuk mencapai kebijaksanaan, kesucian, dan kedamaian,”jelasnya.
Upacara menginjak api hanya dilakukan oleh pemangku atau pemimpin upacara dan para pemimpin desa yang memiliki makna mendalam, baik dari sisi spiritual maupun sosial.
Pemilihan individu yang menjalankan ritual tersebut mencerminkan peran dan tanggung jawab mereka sebagai pemimpin spiritual dan masyarakat.
Pemangku dan pemimpin desa dipilih karena mereka memiliki kemampuan untuk menyalurkan energi positif ke seluruh komunitas.
Pemangku merupakan perantara antara umat dan Hyang Widhi (Tuhan), sedangkan pemimpin desa bertindak sebagai pelindung masyarakat.
“Menginjak api oleh mereka melambangkan tanggung jawab untuk membersihkan energi negatif yang mengancam masyarakat serta menjaga keseimbangan spiritual desa,” kata Nyoman Eriawan.
Dalam tradisi Bali, pemimpin spiritual dan adat dianggap memiliki tanggung jawab untuk menebus atau memurnikan energi negatif yang mungkin ada dalam komunitas. Api menjadi sarana pembersihan, dan pemangku atau pemimpin desa bertindak sebagai wakil untuk membawa masyarakat menuju harmoni.
Menginjak api oleh pemangku dan pemimpin desa menunjukkan keberanian spiritual mereka sebagai individu yang memiliki koneksi mendalam dengan kekuatan ilahi. Ini menegaskan bahwa mereka layak menjalankan tugas suci untuk melindungi masyarakat secara spiritual dan moral.
Pemangku dan pemimpin desa juga dianggap sebagai penjaga Dharma atau kebenaran. Ritual ini mengingatkan bahwa mereka harus selalu berjalan di jalan Dharma, bahkan dalam situasi yang sulit atau penuh tantangan, seperti menginjak api yang simbolis dari ujian duniawi.
“Pemimpin, baik pemangku maupun pemimpin desa, diharapkan menjadi teladan bagi masyarakat. Dengan menjalani ritual ini, mereka menunjukkan keberanian, pengorbanan, dan tanggung jawab yang seharusnya dimiliki oleh seorang pemimpin,” ucapnya.