Singaraja Literary Festival Menafsir Ulang Sastra Kuno Buda Kecapi

STAR-NEWS.ID Seni – Singaraja Literary Festival (SLF) sukses digelar di Gedung Kirtya Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Pendidikan Ganesha Buleleng pada 25-27 Juli 2025 lalu.

Singaraja Literary Festival merupakan festival sastra yang berbasis alih wahana dari kekayaan sastra lontar yang diinisiasi dan diselenggarakan oleh Yayasan Mahima Indonesia pada 2023 silam.

Meski baru tiga tahun, SLF menjadi momen penting dalam lanskap kesusastraan regional, nasional, bahkan internasional.

Festival ini dapat menjembatani pengetahuan lama, kini, dan masa depan, dengan praktik-praktik kesenian kontemporer, seperti musikalisasi puisi, teater, film, dan buku karya sastra.

Tahun ini, SLF mengusung tema ‘Buda Kecapi’ yang bermakna energi penyembuhan semesta.

“Tema Buda Kecapi kami pilih karena relevansinya dengan kondisi sosial kita hari ini. Ada luka, ada krisis identitas, ada kehilangan akar. Dan sastra, khususnya yang bersumber dari warisan lokal seperti lontar, bisa menjadi penawar,” jelas Direktur sekaligus Founder SLF Kadek Sonia Piscayanti.

Sonia menjelaskan, Buda Kecapi adalah salah satu naskah kuno yang tersimpan di Gedong Kirtya. Dalam teks itu, tersimpan gagasan tentang kehidupan yang seimbang, relasi harmonis antara manusia dan semesta, serta nilai-nilai penyembuhan melalui seni dan kebijaksanaan lokal.

Hal itu menjadi pijakan utama SLF 2025 untuk menggali naskah, menafsir ulang, dan mengalihwahanakannya dalam bentuk karya baru.

“Kami merancang festival ini sebagai proses pendokumentasian gagasan lintas masa, lalu, kini dan nanti melalui alih wahana dari teks lontar menjadi seni pertunjukan, karya sastra, bahkan film. Jadi kami tidak sekadar mengarsipkan masa lalu, tapi menghidupkannya dalam bentuk yang relevan dan bisa diterima generasi hari ini,” jelasnya.

Dirjen P3K Kementerian Kebudayaan Ahmad Mahendra mengatakan, SLF menjadi satu-satunya festival sastra yang berbeda di Indonesia. Menurutnya, festival ini terlihat organik, kolektif, gotong-royong dari berbagai pihak.

“Cara membaca pikiran atau berfestival dengan topangan kesadaran kolektif ini tentu saja mengandung heroisme tertentu. Ia hendak memberi suara kepada yang selama ini tidak bisa bersuara. Dalam konteks festival ini adalah menyediakan ruang bagi lebih banyak pikiran kaum intelektual yang terabaikan selama ini,” jelas Mahendra.

“Indonesia sangat berterima kasih kepada Singaraja Literary Festival karena telah merawat dan menghidupkan pengetahuan lontar yang tersimpan di Gedong Kirtya ke dalam banyak alih wahana kesenian kontemporer,” ucapnya.

Sementara itu, Wakil Bupati Buleleng Gede Supriatma menyambut baik terselenggaranya SLF tahun ini.

“Ini menandakan kebangkitan sastra di Singaraja. Bahwa dulu Singaraja punya sastrawan yang terkenal bukan hanya di nasional tapi juga internasional, Anak Agung Panji Tisna, namanya,” kata Supriatma.

Selama tiga hari, lebih dari 60 program mulai dari pertunjukan, diskusi, lomba, lokakarya, pemutaran film, pameran, sampai napak tilas yang diisi dan diikuti para penulis, peneliti, budayawan, akademisi, seniman, dan publik dari berbagai penjuru dunia.

SLF juga menghadirkan penulis dari seluruh Indonesia, akademisi dan penerjemah dari Kawasan Asia Pasifik, dan beberapa dari benua Eropa.

Follow and share Google News