STAR-NEWS.ID Education – Shortcut alias jalan (cara) pintas sejatinya ada di mana-mana, contohnya shortcut dari lokasi A ke lokasi B. Shortcut untuk dapat menikmati makanan enak dengan segera yaitu dengan membeli makanan secara online.
Shortcut untuk menjadi langsing secara instan dengan meminum obat-obatan tertentu. Termasuk juga, dalam bidang akademik misalnya shortcut untuk dapat memahami materi dengan lebih baik dan cepat. Shortcut untuk dapat lulus ujian dengan nilai memuaskan, dan sebagainya.
Jika kita melihat lagi ke belakang ke sejarah pendidikan formal, bahkan pendirian sekolah atau perguruan tinggi sebagai institusi pendidikan pun, pada dasarnya adalah sebuah shortcut untuk mempermudah manusia memperoleh skill atau keterampilan dalam suatu bidang tertentu.
Misalkan, jika ingin menjadi seorang ahli komputer, tinggal mendaftar ke perguruan tinggi dengan program studi terkait ilmu komputer, kemudian ikuti alur dan prosesnya. Di mana, di dalamnya telah terangkum hal-hal penting terkait komputer (disebut dengan kurikulum), yang akan mengantarkan seseorang untuk menguasai keterampilan menjadi seorang ahli di bidang komputer.
Kemudian pada akhirnya dalam jangka waktu tertentu yang relatif singkat (umumnya dari 1 hingga 3 tahun untuk tingkat diploma dan 4 tahun untuk tingkat sarjana/S1. Kemudian setelah melalui sebuah tahapan ujian akhir, maka orang tersebut akan memperoleh gelar akademik sesuai dengan bidang keilmuannya.
Misalnya, untuk tingkat sarjana/S1 akan bergelar Sarjana Komputer atau disingkat S.Kom yang mendapatkan pengakuan resmi oleh negara yang dibuktikan dengan adanya Ijazah.
Pada umumnya, shortcut tercipta dengan tujuan mempermudah hidup. Namun, shortcut, tentu saja selain membawa manfaat, juga datang dengan konsekuensi.
Sejak tahun 2022, di mana perangkat lunak (aplikasi) bernama ChatGPT dari Perusahaan bernama OpenAI yang berbasis di Amerika Serikat pertama kali diperkenalkan, dunia, termasuk Indonesia menyambutnya dengan sangat antusias.
Hal ini dikarenakan kecanggihan yang dijanjikan, terutama dari istilah yang populer untuk aplikasi tersebut yaitu aplikasi AI-yang merupakan singkatan dari Artificial Intelligence, atau dalam Bahasa Indonesia disebut dengan Kecerdasan Buatan, atau Kecerdasan Artifisial.
Salah satu kalangan yang paling antusias adalah dari kalangan akademik, baik siswa, mahasiswa, maupun pengajar (termasuk guru dan dosen). Alasan paling utama atas antusiasme tinggi ini adalah aplikasi AI (yang kini tidak hanya ChatGPT saja.
Tapi sudah banyak aplikasi lain yang juga mulai bermunculan dan menyaingi kecanggihan ChatGPT. Misalnya, yang juga popular saat ini adalah aplikasi Gemini dari Google, Grok dari X, Claude AI dari Anthropic dan lain-lain.
Termasuk, aplikasi Deepseek yang dikembangkan oleh Perusahaan yang berasal dari Tiongkok) yang dapat menjadi pilihan shortcut yang menjanjikan.
Untuk siswa atau mahasiswa misalnya yang sedang mendapatkan tugas untuk dikerjakan, kemudian dengan mengetikkan soal tugas pada aplikasi AI, maka jawaban akan didapatkan secara instan, dalam waktu yang sangat singkat, tanpa harus bersusah payah untuk belajar.
Jawaban yang diberikan pun, bukan hanya sekedar jawaban. Namun, dapat dilengkapi dengan analisis selayaknya jawaban dari seorang ahli/expert. Tidak hanya itu, aplikasi AI ini juga dapat memberikan solusi atas berbagai masalah, tidak hanya menerima masukan berupa text yang diketikkan. Namun juga dapat berupa suara dan gambar.
Misalkan, hanya dengan memfoto lembar tugas dengan HP, kemudian memasukkan foto tersebut dalam aplikasi AI yang telah terinstall sebelumnya pada HP pengguna, kemudian dalam sekejap jawaban akan didapatkan. Shortcut ini telah terbukti sangat membantu banyak siswa dan mahasiswa dalam pembelajaran.
Demikian halnya dengan pengajar, guru maupun dosen, dengan aplikasi AI dapat menghasilkan modul pembelajaran dalam waktu yang juga sangat singkat, termasuk juga buku ajar, publikasi, dan sebagainya.
Selama hampir tiga tahun beredar, Aplikasi AI telah terbukti sangat membantu kalangan akademik, bahkan sangat memanjakan penggunanya.
Sebelum lanjut lebih jauh, mari kita bahas terlebih dahulu tentang apa itu AI dan bagaimana cara kerjanya.
Awal mula istilah Artificial Intelligence (AI) diperkenalkan oleh John McCarthy di Amerika Serikat pada tahun 1956 untuk menamai projectnya yakni membuat mesin (komputer) yang secerdas manusia.
Istilah AI ini dikemudian hari lebih banyak diadopsi untuk aplikasi yang berbasis Deep Learning atau pembelajaran mendalam, yang mengimplementasikan metode yang disebut Artificial Neural Networks (ANN) atau dalam Bahasa Indonesia disebut dengan Jaringan Saraf Tiruan (JST), yang pada dasarnya meniru cara kerja otak manusia yang terdiri dari milyaran sel saraf atau neuron.
Secara sederhana, dapat dijelaskan bahwa otak manusia akan mengolah semua masukan yang didapatkan dari panca indra, dan dikombinasikan dengan pengalaman atau pengetahuan sebelumnya.
Pengolahan ini disebut juga proses pembelajaran. Kemudian, hasil dari pembelajaran ini selain dapat digunakan lagi di masa depan, sebagian besar juga akan menjadi tindakan.
Berbeda dengan otak manusia yang mengolah sinyal yang didapatkan dari panca indra, sistem komputer (dalam hal ini termasuk perangkat Handphone atau HP) mengolah masukan dari perangkat inputnya, misalkan text dari keyboard, audio dan gambar dari kamera, dan seterusnya. Perangkat input inilah yang bertindak sebagai “indra” dari komputer.
Jaringan Saraf Tiruan yang disusun berlapis-lapis layaknya jaringan saraf manusia kemudian mengolah semua yang didapatkan dari perangkat input tadi menjadi luaran yang disesuaikan dengan keinginan pengguna. Pengolahan inilah yang disebut dengan Deep Learning, yang mana semua pengolahan memanfaatkan formula Matematika.
Aplikasi AI semacam ChatGPT juga dilatih untuk mempelajari seluruh data yang ada pada jaringan Internet yang terkoneksi ke seluruh dunia. Ini sebabnya, di banyak kasus, terbukti bahwa Aplikasi AI terlihat lebih cerdas daripada manusia pada umumnya. Inilah alasan utama mengapa terjadi antusiasme berlebih pada Aplikasi AI.
Kembali lagi ke pembahasan tentang konsekuensi yang dibawa oleh shortcut yang bernama AI. Terdapat pepatah “Tidak semua yang berkilauan itu emas”. Ini juga benar pada AI. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, aplikasi AI belajar dari data yang ada di jaringan internet.
Semua luaran hasil yang didapatkan atau diberikan oleh aplikasi AI terbatas hanya pada apa yang tersedia di internet saja sehingga semua dapat diprediksi, sedangkan pada realitanya, kasus yang ada di dunia ini sebagian adalah kasus baru yang tidak dapat diprediksi terlebih bila berkaitan dengan alam. Ini makanya, luaran aplikasi AI banyak ditemukan yang tidak sesuai dengan kenyataan, dan luaran seperti ini disebut dengan istilah “Halusinasi”.
Selain itu, dari sisi lain, selain masalah orisinalitas karya, bila pengguna (dalam hal ini misalkan siswa, mahasiswa, guru dan dosen, serta khayalak umum lainnya) terlalu bergantung pada aplikasi AI untuk menyelesaikan segala tugas dan ujian, termasuk dalam hal pengerjaan project-projectnya.
Artinya, mengurangi kesempatan otaknya untuk berkembang dalam hal kemampuan analisis, berpikir kritis, termasuk juga kemampuannya mengingat informasi, maka lambat laun kemampuan kognitifnya akan berkurang dan bukan hal yang tidak mungkin akan terjadi yang disebut dengan istilah “Brain Rot” atau pembusukan otak akibat terlalu lama tidak digunakan, dan kondisi ini juga dapat menyebabkan penyakit Dementia.
Bila ini terjadi secara masal di Indonesia, maka cita-cita generasi emas Indonesia di tahun 2045 tentu tidak akan tercapai.
Kemudian, dari makna kata kecerdasan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah kesempurnaan perkembangan akal budi (seperti kepandaian, ketajaman pikiran). Dari sini kita dapat melihat bahwa fokus dari makna kecerdasan adalah perkembangan – manusia memiliki kemampuan untuk berkembang (ciri mahluk hidup), dan akal budi yang mencakup tidak hanya kepandaian (akademik) saja, melainkan juga ketajaman pikiran.
Masih menurut KBBI, kecerdasan terbagi atas tiga macam, yakni 1) kecerdasan emosional (kecerdasan yang berkenaan dengan hati dan kepedulian antarsesama manusia, makhluk lain, dan alam sekitar), 2) kecerdasan intelektual (kecerdasan yang menuntut pemberdayaan otak, hati, jasmani, dan pengaktifan manusia untuk berinteraksi secara fungsional dengan yang lain), dan kecerdasan spiritual (kecerdasan yang berkenaan dengan hati dan kepedulian antar sesama manusia, makhluk lain, dan alam sekitar berdasarkan keyakinan akan adanya Tuhan Yang Maha Esa).
Dari makna ini, maka dapat dikatakan bahwa kecerdasan yang dimiliki oleh komputer melalui aplikasi AI saat ini masih sangat jauh bila dibandingkan dengan kecerdasan yang dimiliki manusia.
Oleh karena itu, sebaiknya, pengguna menyadari bahwa posisi aplikasi AI sebenarnya, secara keseluruhan, masih jauh di bawah kemampuannya dan sampai kapanpun tidak akan bisa digantikan kedudukannya oleh mesin.
Karena selain kecerdasan intelektual, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, manusia juga memiliki keistimewaan lain yakni kecerdasan emosional dan spiritual. Shorcut yang bernama AI ini seharusnya ditempatkan pada posisi yang semestinya, yakni sebagai teknologi yang membantu mempermudah pekerjaan manusia, bukan menggantikan manusia.
Atau dengan kata lain, pemanfaat aplikasi AI digunakan sebaik-baiknya sehingga dapat meng-enhance atau membantu meningkatkan kemampuan manusia. (*)
Penulis: Luh Putu Ayu Prapitasari, dosen mata kuliah Kecerdasan Buatan, fakultas Informasi dan Komputer, Institut Teknologi dan Bisnis STIKOM Bali