Bermakna Sakral, Warga Banjar Kaja Sesetan Gelar Tradisi Omed-omedan saat Ngembak Geni

STAR-NEWS.ID TradisiNgembak Geni atau sehari setelah Nyepi.

Penglingsir Banjar Kaja Sesetan Jro Wayan Sunarya menjelaskan, festival kali ini menjadi pertama diadakan setelah pandemi covid-19. Selama pandemi, kegiatan tetap diadakan dengan lingkup kecil dengan jumlah peserta terbatas.

“Selama pandemi kemarin kita tetap adakan tapi di dalam Banjar Kaja saja, tidak keluar sampai ke jalan raya,” kata Sunarya, Kamis, 23 Maret 2023.

Menurutnya, tradisi yang penuh euforia dan kebersamaan antar warga itu sebenarnya memiliki makna yang cukup sakral. Warga desa Sesetan Kaja meyakini, kalau tradisi itu dilewatkan maka akan terjadi musibah. Jika tidak menggelar ritual Omed-omedan desa mereka akan dilanda malapetaka.

“Kami pernah meniadakan tapi sebagian besar warga kami dirundung bencana, dari situ tersirat pesan kalau kami harus tetap mengadakan Omed-omedan ini,” kata Sunarya.

Omed-omedan dalam bahasa Bali berarti tarik menarik. Namun pada perkembangannya istilah tarik menarik itu menjadi ciuman yang dilakukan antara pria dan wanita yang masih lajang.

“Tapi bukan berarti pornografi. Masyarakat Bali yang masih normal tidak mungkin melakukan ciuman di depan umum, ini yang perlu dipahami,” jelas Jro Wayan Sunarya.

Dalam festival Omed-omedan tahun ini, setidaknya ada 20-30 pasang teruna-teruni atau pemuda pemudi yang jadi peserta. Mereka berada dalam barisan yang saling berhadapan dan akan dipertemukan satu sama lain.

Ketika bertemu umumnya, si pemuda akan langsung mengarahkan ciuman ke pemudinya. Tapi itu tidak berlangsung lama. Karena di situ ada penengah yang akan menjaga kondisi. Uniknya, setelah kedua pemuda pemudi itu saling merapat, tubuh mereka langsung diguyur air hingga basah kuyup.

Tradisi omed-omedan di Bali – Foto: Star-News.id

Sejarah Omed-omedan

Dikisahkan, pada masa Kerajaan Puri Oka, raja mengalami sakit keras dan tidak bisa disembuhkan dan itu bertepatan dengan Hari Raya Nyepi. Pada saat yang sama, pukul 4 sore, warga berkerumun di depan Puri (Keraton, red) membuat gaduh.

Raja yang sedang sakit keras, dengan kemarahan meluap keluar Puri dan menghardik sekumpulan warga yang mengadakan tarik menarik atau Omed-omedan agar pergi meninggalkan tempat itu. Saat raja meluapkan kemarahan itu, mendadak sakitnya hilang dan ia merasakan sembuh total.

“Raja keluar lagi dan memerintahkan warga kembali melanjutkan kegiatan Omed-omedan. Raja juga bertitah setiap tahun pada hari, jam yang sama tradisi itu tetap diadakan,” jelas Wayan Sunarya.

Sunarya menambahkan, dulunya, Omed-omedan jatuh pada saat Hari Raya Nyepi. Kemudian, pada masa penjajahan Belanda, tradisi itu sempat ditiadakan. Alhasil, yang terjadi di luar perkiraan.

“Ada 2 babi besar muncul dan berkelahi di depan Puri. Warga tidak bisa melerai meski kedua ekor babi itu sudah berdarah-darah. Anehnya, setelah itu keduanya (Babi) raib dengan sendirinya tanpa meninggalkan jejak,” terang Sunarya.

Sejak saat itu, warga merubah hari pelaksanaan Omed-omedan dari awalnya bertepatan dengan Hari Raya Nyepi, dirubah sehari setelah Nyepi atau tepat pada Hari Ngembak Geni.

Tontonan itu menjadi suguhan menarik bagi hampir semua warga di Bali setelah 24 jam penuh tidak melakukan aktifitas apapun saat Nyepi.

Follow and share Google News