92 Persen Netizen Keluhkan Tindakan Politik Cawe-Cawe Jokowi dan Dinilai Tak Wajar

STAR-NEWS.ID Politik – Serba-serbi Perang Bilik 2024 untuk memilih Presiden dan Wakilnya sudah mulai bisa dilihat dan dirasakan. Pesta demokrasi yang akan dilaksanakan pada Februari mendatang telah menjadi perbincangan panas publik.

Mulai dari membahas para tokoh yang dicalonkan hingga manufer politik dari parpol ataupun tokoh tertentu. Momen ini pun digunakan Presiden Jokowi untuk mengundang beberapa Ketua Umum Partai ke Istana terkait urusan pilpres pada 2 Mei 2023 lalu.

Warga pun menyebut tindakan Jokowi ini sebagai Politik Cawe-Cawe yang menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat.

Untuk mengetahui reaksi masyarakat tentang politik cawe-cawe Jokowi, Continuum INDEF melakukan analisa menggunakan Big Data untuk menyasar komentar netizen di media sosial yakni Twitter.

Selama periode 28 April hingga 8 Mei 2023 terdapat 16.698 ribu perbincangan atau tweets yang diposting oleh 12.144 ribu pengguna, sedangkan 76,6% user berlokasi di Pulau Jawa.

“Dari data analisa didapat 92% netizen mengeluhkan tindakan Jokowi. Sedangkan 8% publik menilai tindakan Jokowi itu wajar, karena menurut publik presiden memang wajib Cawe-Cawe sesuai sumpah jabatannya,” kata Peniliti/Analyst Continuum INDEF Maisie Sagita, dalam Diskusi Publik ‘Netralitas Presiden, Abuse of Power dan Penodaan Demokrasi Minggu, 14 Mei 2023.

Cawe-Cawe yang dimaksud, presiden perlu mengarahkan para tokoh yang mempunyai semangat dan jiwa nasionalisme untuk berlaga di Pilpres 2024.

Sedangkan dari 92% publik yang menganggap tindakan presiden tidak wajar karena, presiden seharusnya bertindak netral dan tidak menggunakan Istana untuk kepentingan pribadinya. Alasan lain karena Jokowi tidak mengundang Nasdem. Hal ini menurut Netizen dinilai terkesan bermusuhan dan tidak ada koalisi dengan Nasdem.

Sementara itu, Direktur Pusat Studi dan Demokrasi LP3ES Wijayanto, mengatakan, selama masih menjabat, presiden bertugas sebagai pengayom bagi seluruh rakyat tanpa terkecuali. Pemilu harus berlangsung secara demokrasi.

“Dalam negara demokrasi yang sehat presiden yang berpihak dalam pemilu, terang-terangan dari hari ke hari kita disuguhkan oleh tontonan itu, nah di negara demokrasi yang sehat seharusnya DPR sudah bertanya kepada presiden, kenapa presiden bukan lagi kepala negara tapi tim ses dari partai tertentu,” kata Wijayanto.

DPR saat ini kata Wijayanto, merupakan DPR yang paling sunyi sepanjang sejarah reformasi, karena tidak pernah bertanya atau mengkritik presiden. Netralitas presiden menurutnya juga sangat penting.

Follow and share Google News