STAR-NEWS.ID Nasional – Belakangan ini masalah sampah di Pulau Dewata menjadi isu krusial bagi pemerintah, pasalnya, pulau ini menjadi Jendela Indonesia dengan destinasi wisatanya yang mampu menjadi magnet bagi wisatawan internasional dari berbagai benua di dunia.
Berdasarkan data Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup (DKLH) Provinsi Bali yang dimasukan dari masing-masing kota, volume sampah yang dihasilkan di seluruh Bali sebanyak 3.436 ton per hari.
Dari total volume sampah itu Kota Denpasar menjadi penyumbang volume sampah terbanyak yakni 1005 ton per hari. Disusul Gianyar sebanyak 562 ton perhari dan Badung 547 ton perhari, Buleleng 413 ton perhari.
Sementara Karangasem menyumbang 281 ton per hari, Tabanan 237 ton per hari, Jembrana 165 ton per hari, Bangli 114 dan Klungkung 112 ton per hari.
Lebih dari 60% sampah dihasilkan oleh rumah tangga, >7% dari pasar dan >11% dari perniagaan. Dari jenis sampahnya, >60% merupakan sampah organik dan >17% sampah plastik.
Dengan tingginya volume sampah per hari yang dihasilkan oleh Kabupaten dan Kota se Bali berdampak pada kondisi Tempat Penampungan Akhir (TPA) Suwung yang makin menggunung.
Akibatnya muncul tempat pembuangan sampah ilegal diberbagai area. Misalnya, di lahan kosong. Dan bahkan sampah rumah tangga yang menumpuk di pemukiman penduduk. Tak jarang untuk menghindari penumpukan sampah di rumah, masyarakat pun membuang sampah rumah tangga di sungai.
Kondisi ini pun semakin memperburuk kualitas kebersihan Pulau Bali yang menjadi rujukan wisatawan domestik maupun mancanegara untuk menikmati keindahan Pulau Seribu Pura ini.
Program Super Perioritas Mendesak
Sampah yang menumpuk dan tidak terkelola dengan baik, tidak hanya berdampak pada lingkungan sekitar tetapi juga berpengaruh besar terhadap sektor pariwisata.
Keberhasilan pengelolaan sampah di Bali dan terwujudnya Bali Bebas Sampah tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah semata, melainkan menjadi tanggung jawab bersama seluruh komponen masyarakat.
Untuk itu Gubernur Bali Wayan Koster menempatkan masalah sampah ini sebagai program Super Prioritas Mendesak.
Pemerintah Provinsi berupaya membangun kesadaran masyarakat melalui gerakan Bali bersih sampah yang tertuang dalam Surat Edaran Gubernur Bali Nomor 09 Tahun 2025 tentang Gerakan Bali Bersih Sampah.
“Gerakan Bali Bersih Sampah sudah dilaunching per tanggal 11 April 2025 di Art Center,” jelas Kepala UPTD Pengelolaan Sampah DKLH Provinsi Bali Ni Made Armadi, SP, M.Si saat menjadi pembicara dalam acara Workshop dan Lomba Jurnalistik Bali Bebas Sampah dalam rangka HUT Ke-7 Media Online Kanalbali.id di Denpasar, Sabtu, 26 Juli 2025.
Gerakan Bali Bersih Sampah dilakukan dengan pendekatan yang diambil antara lain dengan pendekatan mengelola sampah berbasis sumber rumah tangga. Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Gubernur Bali Bali Nomor 47 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber.
“Karena sumber sampahnya paling banyak adalah sampah dari rumah tangga,” imbuhnya.
Ni Made Armadi menyebut penempatan sampah pada program super prioritas mendesak lantaran Bali darurat sampah. Sehingga Tim Percepatan Pengelolaan sampah berbasis sumber juga menunjuk Ketua TP PKK Bali Putri Koster sebagai Duta Sampah.
“Tujuanya untuk mensosialisasikan ke masyarakat untuk mulai melakukan pengelolaan sampah di rumah tangga,” ujarnya.
Sosialisasi dengan masif dan mengoptimalkan kembali TPS3R untuk mengurangi penumpukan sampah di TPA.
Selain itu, Gerakan Bali Bersih Sampah juga dilakukan dengan cara mempercepat pelaksanaan pembatasan timbunan sampah plastik sekali pakai.
Hal itu sesuai dengan Peraturan Gubernur Bali Nomor 97 Tahun 2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai.
“Jenis sampah plastik yang harus dibatasi antara lain, tas kresek, pipet, styrofoam, produk dan minuman kemasan plastik,” jelasnya.
Untuk mengurangi sampah plastik pemerintah juga melarang setiap lembaga usaha memproduksi atau mendistribusikan air minum kemasan plastik sekali pakai dengan volume kurang dari 1 liter di wilayah Provinsi Bali.
Pemerintah juga mengimbau setiap pelaku usaha atau kegiatan di wilayah Provinsi Bali untuk tidak menyediakan plastik sekali pakai.
Di sisi lain, Pegiat Bank Sampah dari Yayasan Bali Wastu Ni Wayan Riawati mengatakan, untuk menjadikan Bali bebas sampah, kesadaran itu harus dimulai dari merubah mindset masyarakat dan penggunaan teknologi tepat guna.
“Bukan salah sampahnya tapi bagaimana cara menangani sampah dengan benar, dengan manajemen yang bertanggungjawab, nilai ekonomis kecil dari sampah ini harus dikelola,” kata Riawati.
Riawati mengungkapkan, sampah daur ulang selalu dilihat dari nilai ekonomisnya. Padahal menurutnya, yang terpenting adalah bagaimana masyarakat menangani sampah yang dihasilkan dengan benar.
“Mengurusi sampah plastik ini nilainya rendah apalagi yang tercampur. Bahan baku yang digunakan industri mengolah sampah plastik juga masih impor, disamping harga daur ulang sendiri tidak stabil,” jelasnya.
Di sisi lain, TPA Suwung Denpasar saat ini menuju proses penutupan dan tidak lagi menerima sampah dengan sistem open dumping. Pemerintah sudah melarang dan menghentikan praktik pembuangan sampah secara terbuka.
Ketua TPST-3R Desa Adat Seminyak I Komang Ruditha Hartawan mengatakan, untuk mengelola sampah dibutuhkan peralatan yang memadai. Menurutnya, mesin berteknologi dibutuhkan untuk mengolah residu sampah yang tidak bisa didaur ulang.
“Selama ini semua residu dibuang ke TPA Suwung, kalau TPA ditutup kemana mau buang residunya. Karena residu ini tidak punya nilai ekonomi,” kata Komang Ruditha.
Ia mengatakan, jumlah residu dari TPST-3R Desa Adat Seminyak rata-rata 6 truk per hari.
“Anggaplah satu truk 2 ton berarti per hari 12 ton residu yang harus dibuang ke TPA Suwung dari satu TPS saja,” ujarnya.
Regulasi atau SE Hanya Ajakan Tanpa Sanksi, Pemerintah Harus Tegas
Dekan FISIP Undiknas Nyoman Subanda, M.Si mengatakan, seluruh komponen masyarakat harus terlibat dan melaksanakan regulasi atau kebijakan pemerintah terkait penangan sampah yang mejadi masalah utama di Pulau Bali.
“Sampah tidak bisa hanya mengandalkan peran pemerintah saja. Pemerintah bermitra, bersinergi dengan semua komponen masyarakat, pengusaha termasuk otoritas tradisional seperti Desa Adat, subak dan sebagainya,” kata Nyoman Subanda.
Selain itu pemerintah juga harus tegas terhadap pelaksanaan atau implentasi regulasi yang dikeluarkan termasuk memberikan sanksi bagi yang melanggar.
“Jika berkaca dari negara-negara maju, terutama dalam pengelolaan sampahnya yang terbaik, kenapa sih itu? Yang pertama pemerintahnya tegas, aturan jelas dan sanksinya pasti, SOP nya pasti,” jelasnya.
Ia mencontohkan, di Jepang jika seseorang telat membuang sampah, maka sampah harus dikembalikan lagi ke rumahnya.
Nyoman Subanda juga menyebut, sosialisasi tentang penanganan sampah di Indonesia terutama di Bali seharusnya bukan hanya tentang sosialisasi metode pembuangan sampah saja. Akan tetapi edukasi menyangkut perilaku masyarakat dalam kapasitasnya seperti pembentukan karakter.
“Dalam hal ini bolehlah kita meniru negara-negara maju, bagaimana Jepang, Korea Jerman, Swedia melakukan hal semacam itu,” ujarnya.
Menurutnya yang patut ditiru dari negara maju salah satunya adalah tentang daur ulang sampah.
“Kalau kita masih mengandalkan, bertumpu pada TPA maka itu akan sangat mustahil dan lama tujuan Bali Bebas Sampah itu tercapai,” kata Nyoman.
Dikatakan Nyoman Subanda,dalam regulasi atau SE yang dikeluarkan pemerintah hanya berupa imbauan yang bersifat ajakan kepada masyarakat untuk memperlakukan sampah dengan baik. Kebijakan-kebijakan itu tidak disertai dengan sanksi-sanksi yang bersifat linier bagi yang melanggar.
“Salah satu implenentasi kebijakan itu bisa efektif adalah linier antara kebijakan di provinsi, kabupaten, kota sampai dengan di tingkat desa. Harus ada Perdesnya. Harus mendukung itu. Inilah sinergitas yang perlu dibangun juga,” kata Nyoman.
Ia menegaskan, pemerintah harus tegas mendisiplinkan masyarakat. Misalnya dengan menerapkan sanksi kepada masyarakat yang melanggar aturan atau regulasi terkait sampah. Misalnya dengan memberlakukan hukum adat sehingga masyarakat merasa takut dan enggan untuk berperilaku yang tidak baik terhadap sampah.
“Ini penting. Negara harus tegas dan berani. Yang tak kalah penting juga memberikan insentif, memberikan dana yang besar khusus untuk sampah,” ucapnya.
Ia menyebut, jika kondisi suatu daerah sudah dinyatakan darurat sampah maka daur ulang sampah dan alokasi APBD untuk sampah harus ditingkatkan.
“Kalau mau seperti negara maju cara pengelolaan sampahnya, daur ulang itu harus sebesar mungkin sehingga ke TPA nya kecil,” ujarnya.
Negara Pengelola Sampah Terbaik di Dunia
1. Jerman
Sampah dipilah menajadi 6 jenis. Tingkat daur ulang 65%
2. Jepang
Sampah dipilah menajdi 40 kategori. Daur ulkang mencapai 80% dan kedisiplinan warga yang tinggi.
3.Swedia
Membakar sampah untuk energi 99%. Hanya 1% dibawa ke TPA. Insentif daur ulang dan subsidi bagi inovasi pengolah sampah yakni impor sampah untuk energi listrik
4.Korea Selatan
Daur ulang sampai 60%. Warga beli kantong sampah. Sistem pengendalian sampah dengan system berbayar
5. Singapura
Sampah menghasilkan energi Listrik dan mempunyai aturan ketat soal buang sampah
Negara Pengelola Sampah Terburuk di Dunia
1. India
Sistem pengumpulan dan daur ulang lemah, kesadaran rendah.
2. Nigeria
Tidak ada system yang efektif
3. Tiongkok (China)
Volume sampah besar, pencemaran udara, tanah air dan TPA Pembuang sampah no 1 diduna
3. Filipina
Perilaku dan budaya buang
4. Brasil
Daur ulang sangat minim.
5. Banglades
Infrasuktur kurang, sampah dibuang tanpa proses.
6. Indonesia
Minimnya infrastruktur pengolah sampah, kesadaran masyarakat rendah. Indonesia penyumbang sampah plastik ke laut no 2 di dunia. Daur ulang hanya 20%